Blogger news

Blogroll

☒ WELCOME TO MY BLOG ☺ KEPERAWATAN KESEHATAN DAN HIBURAN ☒

Selasa, 04 Januari 2011

� PENERAPAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DI ANTARA PERBEDAAN KEBUDAYAAN


PENERAPAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DI ANTARA PERBEDAAN KEBUDAYAAN

DRA. LUSIANA ANDRIANI LUBIS, MA Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat
istiadat dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah “desa dunia” (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi   sebagai   akibat   dari   perkembangan  teknologi   modern.  Oleh   karenanya
masyarakat (dalam arti  luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam  konteks  keberagaman kebudayaan atau  apapun  namanya.  Interaksi  dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah sudah saling
mengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan.
Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak   diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma
masyarakat dan lain sebagainya. Pada hal syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Dari itu mempelajari komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan
Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan
budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari
suatu generasike generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan   norma- norma atau nilai-nilai   yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu (Muljana,
2000:6).
Begitu  pentingnya peranan komunikasi dan  budaya maupun sebaliknya, maka penulis merasa perlu untuk membuat karya ilmiah ini dengan mengambil judul “Penerapan Komunikasi Lintas Budaya Diantara Perbedaaan Kebudayaan”.

1.2. Masalah
Masalah yang ingin dikemukakan disini adalah :
a.  Bagaimana proses komunikasi dalam berkomunikasi antar budaya ?
b.  Bagaimana  penerapan  bahasa  verbal  dan  non  verbal  dalam  konteks komunikasi antar budaya ?
1.3. Metode Kerja
Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah :
a.  Penulis  mencoba  untuk  menguraikan  dengan  sejelas-jelasnya  tentang persoalan di atas agar mahasiswa/i yang mengambil mata kuliah ini ataupun yang memerlukan tulisan ini sebagai bahan rujukan dapat mengetahuinya dan memahaminya.
b.  Penulis    mencoba    memngkaitkannya   dengan    penggunaannya   dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman budaya.


1.4. Tujuan Pembahasan
1. Untuk dapat diketahui oleh pembaca tentang penggunaan bahasa verbal dan non verbal .
2.Untuk dapat diketahui oleh pembaca tentang penerapan bahasa dalam konteks komunikasi antar budaya.

1.5. Manfaat Pembahasan
1. Untuk dapat digunakan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa/i yang memerlukan tulisan ini.
2.Sebagai materi pelajaran bagi mahasiswa/i yang mengambil mata kuliah
Komunikasi Lintas Budaya.

PERINSIP-PERINSIP KOMUNIKASI DALAM PENERAPAN PADA KONTEKS ANTAR BUDAYA
Bagaimana masalah perbedaan kebudayaan ini jika dikaji dari prinsip dasar teori komunikasi ?. Untuk memahami Komunikasi Antar Budaya atau Komunikasi Lintas Budaya, perlu pengetahuan tentang komunikasi manusia. Walaupun pihak- pihak yang terlibat dalam komunikasi antar budaya memiliki latar belakang kebudayaan yang satu sama lain berbeda, tetapi mereka bagaimanapun juga menjalani dan mengalami hal-hal sama yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa komunikasi secara umum. Artinya prinsip-prinsip komunikasi yang berlangsung tetap sama, hanya konteksnya saja yang berbeda, yakni dalam hal ini khusus konteks antar budaya.
A.      Hakekat Pokok Komunikasi
Setelah melihat secara umum peta situasi dalam bidang ilmu komunikasi saat ini, kiranya perlu ditinjau secara lebih rinci apa hakekat pokok komunikasi. Tinjauan bisa dilihat dengan suatu asumsi dasar bahwa komunikasi ada hubungannya dengan
prilaku manusia dan pemenuhan   kebutuhan untuk berinteraksi dengan makhluk lainnya (communication hunger) . Hampir setiap orang butuh untuk mengadakan kontak sosial dengan orang lain. Kebutuhan ini dipenuhi melalui saling pertukaran
pesan yang dapat menjembatani individu-individu agar tidak terisolir. Pesan-pesan diwujudkan melalui prilaku manusia. Dalam hal demikian maka ada dua persyaratan yang harus dipenuhi:
1.  Prilaku apapun harus diamati oleh orang lain.
2.  Prilaku tersebut harus menimbulkan makna bagi orang lain. Implikasi dari kenyataan ini adalah:
     Kata “apapun” mengandung arti bahwa baik prilaku komunikasi verbal maupun nonverbal dapat berfungsi sebagai pesan. Pesan-pesan verbal
terdiri dari kata-kata terucapkan maupun tertulis, sedangkan pesan- pesan non verbal merupakan keseluruhan prilaku-prilaku sisanya,yang tidak termasuk verbal, tetapi juga dapat dilekatkan makna padanya.
     Prilaku dapat terjadi baik secara sadar maupun tidak sadar. Prilaku tidak sadar terutama pada non verbal.
     Seringkali  prilaku  juga  terjadi  tanpa  ada  maksud  tertentu  dari pelakunya, tetapi dipersepsikan dan diberikan makna oleh orang lain.
Dengan pengertian lain makna komunikasi dapat dirumuskan secara umum sebagai : “…sesuatu yang terjadi bilaman makna dilekatkan pada prilaku atau pada hasil/akibat  dari  prilaku  tersebut”.  Ini  berarti  bahwa  setiap  saat  seseorang memperhatikan  prilaku  atau  akibat  dari  prilaku  kita  serta  memberikan  makna padanya, maka komunikasi telah terjadi, tanpa harus dibatasi apakah prilaku itu dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, dengan maksud atau tanpa maksud.
Jika hal ini kita renungkan lebih dalam lagi, maka nampaknya tidak mungkin bagi kita untuk bertingkah laku. Dan jika tingkah laku memiliki kemampuan komunikasi, tentunya tidak mungkin pula bagi kita untuk berkomunikasi (“We can not communicate”).
Pembahasan mengenai pengertian dan hakikat komunikasi tidak dapat meninggalkan peninjauan atas unsur-unsur komunikasi. Unsur-unsur komunikasi ini selalu terdapat dalam peristiwa komunikasi manapun:
1.  Sumber
Merupakan orang yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan internal sendiri, baik yang bersifat emosional  maupun  informasional  dengan  orang  lain.  Kebutuhan  ini  bisa
berupa keinginan untuk memperoleh pengakuan sosial sampai pada keinginan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain.
2.  Meng-encode
Karena keadaan internal tidak bisa dibagi bersama secara langsung, maka diperlukan simbol-simbol yang mewakili. Encoding adalah suatu aktifvitas internal  pada  sumber  dalam  menciptakan pesan  melalui  pemilihan  pada
simbol-simbol  verbal  dan  non  verbal,  yang  disusun  berdasarkan aturan- aturan tata bahasa dan sintaksis yang berlaku pada bahasa yang digunakan.
3.  Pesan
Merupakan hasil encoding. Pesan adalah seperangkat simbol-simbol verbal atau non verbal yang mewakili keadaan khusus sumber pada satu dan tempat
tertentu.
4.  Saluran
Merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke penerima atau yang menghubungkan orang ke orang lain secara umum.
5.  Penerima
Adalah orang -orang yang menerima pesan dan dengan demikian terhubungkan dengan sumber pesan. Penerima bisa orang yang dimaksud
oleh  sumber  atau  orang  lain  yang  kebetulan  mendapatkan  kontak  juga
dengan pesan yang dilepaskan oleh sumber dan memasuki saluran.
6.  Men-decode
Decoding  merupakan  kegiatan  internal  dari  penerima.  Melalui  indera, penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk “mentah”, yang harus diubah kedalam pengalaman-pengalaman yang mengandung makna.
7.  Respons Penerima
Yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dilakukan terhadap pesan.Respons dapat bervariasi sepanjang dimensi minimum sampai maksimum.
8.  Balikan (feedback)
Merupakan informasi bagi sumber sehingga ia dapat menilai efektifitas komunikasi untuk selanjutnya menyesuaikan diri dengan situasi yang ada.
9.  Gangguan (noise)
Gangguan beraneka ragam, untuk itu harus didefinisikan dan dianalisis. Noise dapat masuk kedalam sistem komunikasi manapun yang merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat kacau penyampaian pesan, termasuk yang
bersifat fisik atau phisikis.
10. Bidang Pengalaman
Komunikasi dapat terjadi sejauh para pelaku memiliki pengalaman- pengalaman yangsama. Perbedaan dapat mengakibatkan komunikasi menjadi
sulit,  tetapi  walaupun  perbedaan  tidak  dapat  dihilangkan  bukan  berarti
komunikasi tidak ada harapan untuk terjadi.
11. Konteks Komunikasi
Komunikasi selalu terjadi dalam suatu konteks tertentu paling tidak ada tiga dimensi:
     Dimensi fisik
Merupakan   lingkungan   konkrit   dan   nyata   tempat   terjadinya komuniiasi, seperti ruangan, halaman dan jalanan.
     Sosial, misalnyaadat istiadat, situasi rumah,dll.
     Dimensi Norma, misalnya mencakup kesemua kehidupan masyarakat.
B. Prinsip Homofili dan Heterofili dalam Komunikasi antar Budaya.
Dari  pembahasan  tentang  hakekat  pokok  komunikasi  sebelumnya,  kita mengetahui bahwa identifikasi persamaan-persamaan merupakan suatu aspek yang
penting dalam proses pertukaran informasi. Sesuai dengan konsep mengenai “Perhimpitan kepentingan-kepentingan” (overlapping of interests) maka persamaan merupakan semacam kerangka dalam komunikasi yang terjadi. Agar pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi dapat saling memahaminya dan karenanya berkomunikasi dengan efektif, mereka harus memiliki sesuatu yang kurang lebih sama dengan latar belakang dan pengalaman. Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan keadaan  yang  sama  antara  pihak-pihak pelaku  komunikasi ini adalah homofili. Jelasnya homofili adalah derajat persamaan dalam beberapa hal tertentu seperti  keyakinan, nilai,  pendidikan, status sosial  dan  lain-lain, antara pasangan-pasangan individu yang berinteraksi. (Rogers dan Kincaid, 1981 : 127). Perasaan-perasaan ini memungkinkan untuk tercapainya persepsi dan makna yang sama pula terhadap sesuatu objek atau peristiwa.
Tetapi  bagaimana  halnya  dengan  komunikasi  antar  budaya  yang  justru bertolak dengan asumsi akan adanya perbedaan-perbedaan kebudayaan?. Dilihat
dari  segi  prinsip  dasar  komunikasi  tadi,  maka  perbedaan-perbedaan  ini  tentu
cenderung untuk mengurangi atau menghambat terjadinya komunikasi yang efektif. Karena jika  pesan-pesan yang disampaikan melampau batas-batas kebudayaan,
yang dapat terjadi adalah apa yang dimaksud oleh pengirim dalam suatu konteks tertentu akan diartikan dalam konteks yang lain lagi oleh penerima. Dalam situasi antar budaya demikian, dapat dikatakan hanya sedikit saja atau tidak sama sekali
“ko - orientasi yang merupakan persyaratan bagi komunikasi umumnya”.  Dengan ko-orientasi yang dimaksud ialah   bahwa antara dua pihak yang berkomunikasi seharusnya terdapat persamaan dalam orientasi terhadap topik dari komunikasi mereka (Sarel, 1979 :395).  Atau dapat juga dikatakan bahwa berdasarkan prinsip
homofili, orang cenderung untuk berinteraksi dengan individu-individu lain yang serupa dalam hal karekteristik-karekteristik sosial dengannya.
Dodd  (  1982  :  168-170)  membuat  klasifikasi  tentang  dimensi-dimensi homofili ke dalam :
1.  Homofili dalam penampilan.
2.  Homofili dalam latar belakang.
3.  Homofili dalam sikap.
4.  Homofili dalam nilai.
5.  Homofili dalam kepribadian.
Namun, dipandang dari sudut kepentingan komunikasi antar budaya, adanya perbedaan-perbedaan  tidak  menutup  kemungkinan  terjadinya  komunikasi  antar
individu-individu atau  kelompok-kelompok budaya. Perbedaan-perbedaan bahkan dilihat sebagai kerangka  atau matriks dimana komunikasi terjadi. Dalam kaitan ini kiranya teori yang dikemukakan oleh Grannovetter (1973) mengenai “kekuatan dan
ikatan-ikatan lemah (The strengt of weak ties) yang menyarankan akan pentingnya hubungan-hubungan heterofili dalam pertukaran informasi. Dalam komunikasi manusia,  agaknya  diperlukan  juga  keseimbangan diantara  kesamaan dan  tidak kesamaan, antara yang sudah dianggap biasa dengan sesuatu yang baru. Ada suatu
proposisi  dasar  yang  menyatakan bahwa  kekuatan  pertukaran informasi    pada komunikasi  (antara dua orang) ada hubungannya dengan derajat heterofili antara mereka. Dengan kata lain, orang akan menerima hal-hal baru, yang informasional, justru melalui ikatan-ikatan yang lemah. Heterofili adalah derajat perbedaan dalam
beberapa hal tertentu antara pasangan-pasangan individu yang berinteraksi (Rogers dan Kincaid, 1981 : 128).
Sejalan dengan pemikiran tersebut, dapat juga dikemukakan suatu konsep
tentang   equifinality   dalam “teori sistem” yang menyatakan bahwa dalam suatu sistem tertentu manapun akan dapat dicapai tujuan yang sama, walaupun telah dipergunakan titik tolak dan proses-proses yang berbeda. Demikian pula dalam hubungan antar manusia, suatu gagasan yang tidak jauh berbeda menyebutkan
bahwa dua orang akan bertindak sama, meskipun mereka telah menerima atau mengalami stimuli yang sangat berbeda (Bennet, 1979 : 417).
Mungkin dapat ditambahkan juga dalam kaitan ini pendapat dari Dood (1982
: 176-177) bahwa macam dalam komunikasi atau hakekat suatu sistem sosial dapat mempengaruhi prinsip homofili dalam pencarian informasi. Terutama dalam masyarakat  “modern”  (istilah  dari  Dodd),  orang  mencari  individu-individu yang
secara teknis lebih ahli yang dapat menunjukkan derajat inovatif yang meningkat. Dengan catatan bahwa situasi heterofili demikian dapat terjadi jikalau masih dalam cakupan perbedaan yang tidak terlalu besar atau disebut olehnya “Optimal heterophili”.     Toleransi  terhadap  perbedaan  ini  dimungkinkan,  karena  dalam
hubungan dua orang yang secara sempurna homofilik, pengetahuan keduanya tentang inovasi akan sama sajaa Sehingga keadaan ideal dalam perolehan informasi ialah : heterofili dalam hal pengetahuan tetapi cukup homofili dalam karakteristik-
karakteristik atau variabel-variabel lain (misalnya status sosial ekonomi ).
Maka bila perbedaan-perbedaan disadari atau diakui potensi pengaruhnya terhadap komunikasi, masalahnya kemudian mungkin terletak pada cara-cara, strategi                              atau teknik komunikasi yang dipakai.
Dalam KAB, perbedaan-perbedaan individual dapat diperbesar oleh perbedaan-perbedaan kebudayaan.  Persepsi  tentang  kebudayaan-kebudayaan ini adalah  titik  tolak  dari  asumsi yang paling dasar KAB, yaitu kebutuhaan untuk
menyadari  dan  mengakui  perbedaan-perbedaan untuk  menjembataninya melalui komunikasi.
C. Komunikasi Sebagai Proses Konvergensi
Apabila akan dikaitkan dengan pemikiran Interaksionisme Simbolik tentang proses interaksi sosial yaang sifatnya dinamik dan berlangsung terus menerus tadi, maka  ada  suatu  model  komunikasi,  yang  melihat  proses  komunikasi  sebagai
pertukaran (exchange) dan pembagian bersama (sharing of) informasi selama beberapa waktu tertentu. Dengan model komunikasi ini diharapkan akan dicapai suatu cara pendekatan yang tidak terikat pada kaidah atau batasan salah satu kebudayaan  tertentu  saja,  tetapi  sebaliknya  dapat  menggambarkan kenyataan-
kenyataan yang sesungguhnya dalam masyarakat.
Model yang dimaksud ialah Model Komunikasi Konvergensi (convergence model of communication) , seperti yang diutarakan oleh Rogers dan Kincaid 1981,
yang menekankan komunikasi sebagai proses penciptaan dan pembagian bersama
informasi untuk tujuan mencapai saling pengertian bersama (mutual understanding)
antara para pelakunya (Rogers and Kincaid, 1981 : 63)
Komunikasi disini dilihat tidak sebagai komunikasi yang berlangsung secara linear dari  sumber kepada penerima, melainkan sebagai sirkum atau melingkar (cyclical). Pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi berganti-ganti peran sebagai sumber ataupun penerima yang diistilahkan sebagai “transceivers”, sampai akhirnya mencapai tujuan, kepentingan atau pengertian bersama. Dengan demikian, komunikasi selalu mengandung makna adanya saling berhubungan.
BAHASA VERBAL DAN NON VERBAL DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Bahasa verbal maupun nonverbal sebagai bentuk pesan yang digunakan oleh manusia untuk mengadakan kontak dengan realitas lingkungannya, mempunyai persamaan dalam keduanya :
(1)  Menggunakan sistem lambang atau simbol;
(2)  Merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh individu manusia;
(3)  Orang lain juga memberikan arti pada simbol yang dihasilkan tadi.
Berarti disini telah terjadi suatu proses saling memberikan arti pada simbol- simbol  yang  disampaikan antara  individu-individu yang  berhubungan. Sarbaugh
mencoba  mengkaitkan  proses  tersebut  dengan  pengertian  komunikasi  dalam
defenisinya bahwa (Sarbaugh, 1979:2) : Komunikasi merupakan proses penggunaan tanda-tanda dan simbol-simbol yang mendatangkan makna bagi orang atau orang-
orang lain.
Dari pengertian komunikasi demikian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : (1)  Kelangsungan komunikasi tergantung pada macam-macam sistem tanda dan
lambang yang digunakan;
(2)  Komunikasi dapat terjadi kalau makna simbol yang ada dalam diri seseorang juga mempunyai arti yang sama bagi orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
(3)  Salah satu masalah yang paling sering terjadi dalam KAB ialah apabila terdapat perbedaan pemberian makna terhadap simbol.
Tanda dan simbol merupakan alat dan materi yang digunakan dalam interaksi. Kemampuan manusia untuk menggunakan simbol-simbol menjadikannya sebagai makhluk yang unik, yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya. Tetapi kemampuan unik dan proses melakukan simbolisasi yang sesungguhnya rumit ini biasanya dianggap remah saja oleh manusianya sendiri, kecuali ketika mereka menghadapi  saat-saat  sulitnya  memperoleh  “kata  yang  tepat”  untuk menggambarkan sesuatu.
Pembahasan tentang konsep simbol harus diawali dengan pemahaman tentang konsep tanda  (“sign”). Tanda  merupakan unsur yang  digunakan untuk
mewakili unsur lain. Semua hal yang digunakan tanda adalah  berbeda dari hal-hal
yang diwakilinya. Tanda dapat digolongkan ke dalam : (1) tanda alamiah; dan (2)
tanda buatan (Faules & Alexander, 1978: 28-30). Tanda alamiah merupakan fenomena fisik yang digunakan untuk mewakili fenomena lain. Misalnya : daun
kering dan berguguran atau hawa dingin menandakan dimulainya musim gugur.
Tanda buatan merupakan fenomena yang memang diciptakan untuk mewakili fenomena lain, misalnya : lampu lalu lintas yang menunjukkan waktu untuk jalan
atau berhenti.
Perbedaan  pokok  antara  tanda  alamiah  dan  tanda  buatan;  jika  tanda alamiah bersifat aktif, maka tanda buatan bersifat interaktif. Tanda aktif digunakan
untuk penafsiran pribadi, sedangkan tanda interaktif dianggap oleh dua atau lebih orang  telah  dapat  mewakil  sesuatu. Contohnya :  seseorang telah mengajarkan kepada kita dengan cara menunjukkan bahwa buah jeruk yang tipis kulitnya, tidak keras dan halus permukaannya akan manis rasanya dan banyak airnya. Ternyata hal
itu dapat kita buktikan sendiri dengan memilih dan makan buah jeruk ynag mempunyai tanda-tanda seperti disebutkan  oleh orang tadi. Pengalaman ini ingin kita teruskan kepada orang-orang lain supaya mereka tidak salah dalam memilih
buah jeruk. Caranya tidak usah dengan membawa-bawa buah jeruk kepada setiap orang setiap kali, tetapi cukup dengan menggunakan kata-kata (tanda buatan) untuk mengkomunikasikannya kepada orang – orang lain (interaksi). Bagi kita sendiri,
jeruk itu tadi secara fisik merupakan tanda alamiah yang aktif, yang digunakan untuk membuat penafsiran pribadi.
Tanda buatan dapat dibagi kedalam : signal dan simbol. Signal adalah tanda buatan yang menghasilkan respons yang dapat diramalkan (predictable response) pada penerima. Lebih jauh lagi, signal merupakan tanda buatan yang diharapkan atau  diperkirakan akan  menghasilkan satu  respons yang  telah  diakui  bersama.
Contohnya : lampu lalulintas yang menunjukkan warnah merah yang menyala akan menghasilkan respons otomatis dari siapapun yang melihatnya untuk berhenti atau paling tidak dapat diramalkan bahwa mereka akan berhenti. Maka yang terjadi disini jelas bahwa orang-orang telah dikondisikan untuk memberikan respons yang sama terhadap sesuatu signal.
Sebagai macam lainnya dari tanda buatan, simbol menghasilkan derajat
ketidaktentuan karena makna ganda pada penerima dan dengan demikian menghilangkan kemungkinan peramalan pada respons terhadapnya. Respons terhadap simbol dipejari tetapi tidak dikondisikan. Respons yang dipelajari  selalu dilakukan berdasarkan   pengalaman unik dari masing-masing orang. Berlakunya respons yang dipelajari dapat digambarkan sebagai : Stimulus ke organisme ke respons (S-O-R). sebaliknya, respons yang dikondisikan melukiskan keadaan : Stimulus  ke  respons    (S-R).  Dengan  kata  lain,  penyaringan terhadap stimulus melalui organisme adalah membeeakan simbol dari signal. Signal menghasilkan respons yang dikondisikan simbol menimbulkan respons yang dipelajari. Perbedaan demikian dengan sendirinya mengarahkan kepada kesimpulan bahwa semua tanda buatan dimulai sebagai simbol dan beberapa dari simbol kemudian diulang-ulang dan diteguhkan lagi berkali-kali sehingga membentuk signal. Sebagai akibatnya, maka perbedaan  antara  signal  dan  simbol  harus  didasarkan  pada  respons  secara fungsional dari pada atas dasar unsur-unsur dan sifat inheren yang dikandungnya.
Oleh sebab itu, tidaklah tepat atau tidak mungkin untuk menyusun suatu daftar dari tanda-tanda yang dapat digolongkan sebagai signal atau simbol. Dalam hal ini konteks tempat sesuatu tanda disampaikan penting peranannya dalam menentukan penafsiran orang yang terhadapnya.
Diambil dari Faules & Alexander, (1978:30) :
Maka simbol dapat dikatakan memiliki kualitas sebagai berikut : (1) Merupakan produk kegiatan manusia.
(2) Mewakili macam-macam bagian konkrit dan abstrak dari kenyataan.
(3) Memiliki aturan-aturan untuk penggunaannya.
(4) Bersifat semena-mena (“arbitrary”) dan karena hanya bersifat mewakili sesuatu yang lain di luar dirinya, maka maknanya bisa berbeda-beda bagi orang yang berlainan.
Setiap orang dapat menerapkan makna individual pada simbol tertentu. Misalnya pernyataan : “hari ini suram sekali”, dapat menggambarkan keadaan cuaca yang betul-betul gelap atau bisa juga mencerminkan keadaan hati yang suram.
Simbol dapat digolongkan menjadi :
1.  Simbo verbal                : yaitu bentuk bahasa terucapkan dan tertulis dengan kata-kata.
2.  Simbol non verbal         : yakni bentuk bahasa atau tingkah laku tanpa kata- kata.
Karenanya penggunaan lambang-lambang dalam proses KAB dapat ditinjau dari segi:
proses-proses verbal dan proses-proses non verbal.
 
1.  Proses-proses Verbal :
Bentuk yang paling umum dari bahasa verbal manusia ialah : bahasa terucapkan. Bahasa tertulis adalah sekedar cara untuk merekam bahasa terucapkan dengan membuat tanda-tanda pada kertas maupun pada lembaran tembaga dan lain-lain. Penulisan ini memungkinkan manusia untuk merekam dan menyimpan pengetahuan sehingga dapat digunakan di masa depan atau ditransmisikan kepada generasi-generasi berikutnya.
1.1. Bahasa sebagai lambang :
Bahasa terdiri dari : simbol-simbol (kata-kata) dan aturan-aturan penggunaannya. Sehingga kalau kita mempelajari bahasa lain, kedua hal tersebut harus  diperhatikan: selain  kata-kata, aturan-aturan juga  berbeda    pada  setiap bahasa.
Bahasa terucapkan terdiri dari : simbol-simbol, dan suara yang dapat mewakili benda, perasaan, gagasan. Salah satu karakteristik unik dari manusia ialah kecakepan  dan  kemampuannya  dalam  menggunakan  suara  dan  tanda  sebagai
pengganti dari benda dan perasaan. Kemampuan ini mencakup empat kegiatan yakni
: menerima, menyimpan, mengolah dan menyebarkan simbol-simbol. Kegiatan –
kegiatan ini yang membedakan manusia dari mahkluk   hidup lainnya (Samovar,
1981:135).

1.2 Bahasa dan Makna :
Suatu hal yang salah bila dikatakan bahwa kata-kata mempunyai arti dalam dirinya. Lebih tepat untuk dikatakan bahwa yang mempunyai makna adalah orang-
orangnya dan kata-kata hanya sekedar membangkitkan makna pada orang – orang.
Karenanya, kata bisa sama persis, tetapi artinya berlainan. Maka tidak ada yang disebut   makna   “sebenarnya”  karena   setiap   orang   berdasarkan  pengalaman
pribadinya, menentukan makna bagi suatu simbol tertentu. Manusia dapat memiliki makna sama, hanya sejauh mereka mempunyai pengalaman yang sama atau dapat mengantisipasikan pengalaman – pengalaman yang sama.
1.3 Bahasa dan Kebudayaan :
Dalam pengertian yang paling mendasar, bahasa adalah suatu sistem simbol yang  telah  diatur,  disepakati  bersama  serta  dipelajari,  yang  digunakan  untuk
mewakli pengalaman-pengalaman dalam komunitas geografik atau kultural tertentu
(Samovar, et. al, 1981:19).
Kebudayaan mengajarkan pada manusia untuk memberi nama pada benda- benda, orang-orang, gagasan-gagasan berdasarkan segi praktisnya, kegunaannya
dan pentingnya. Biasanya, hal yang lebih penting, diberi nama atau label secara spesifik. Misalnya pada masyarakat yang bahan makanan pokoknya nasi, ada kata- kata khusus seperti : padi, beras, gabah, nasi. Contoh lainnya adalah masyarakat
Eskimo yang mempunyai macam-macam istilah khusus bagi macam-macam bentuk salju. Demikian pula orang Perancis memberikan nama-nama yang sangat terinci dan bervariasi untuk menggambarkan macam-macam makna dan minuman anggurnya.

1.4 Bahasa dan Kenyataan :
Menurut Edward Sapiur dan Benyamin Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai
pedoman ke arah kenyataan sosial   (Samovar, et.al,1981:49). Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya.
Prinsip demikian tidak jauh berbeda dari pokok bahasan bidang studi sosiolinguistik    (sosiologi  bahasa)  yang  mempelajari  hubungan  antara  struktur bahasa atau tindakan berujar (“speech performance”) dengan struktur sosial (dalam bentuk interaksi).
Hubungan itu dapat dilihat sebagai berikut :
(1). Bahasa dan cara berujar (speech) merupakan indikator atau petunjuk atau pencerminan ciri-ciri struktur sosial. Misalnya status sosial atau posisi kelas
sosial dapat ditunjukkan dari penggunaan kata-kata dalam bahasa. Dengan cara analisis demikian kita dapat menentukan kedudukan individu dalam struktur sosial.
(2). Struktur sosial yang menentukan  cara berujar atau perilaku bahasa. Dalam hal
ini terjadi perubahan-perubahan pada standar bahasa baku dan dialek dengan berubahnya konteks dan topik pembicaraan (Grimshaw, 1973:49).
1.5. Bahasa Asing dan Masalah Penerjemahan :
Penerjemahan bahasa merupakan hal yang kompleks dan kadang-kadang bahkan bisa mempunyai akibat-akibat yang membahayakan. Penggunaan kamus saja tidak cukup untuk mengatasi masalah.
Untuk melakukan penerjemahan langsung seringkali sulit, karena : (1)  Kata-kata bisa mempunyai lebih dari satu makna.
(2)  Banyak   kata-kata   yang   terikat   pada   kebudayaan,  sehingga   tidak   ada terjemahan langsung.
 (3)  Orientasi kebudayaan tertentu dapat membuat terjemahan langsung menjadi tidak masuk akal (Samovar,et.al. 1981: 143).
Masalah-masalah juga dapat muncul pada penggunaan penerjemah profesional. Di satu pihak digunakannya penerjemah dapat meningkatkan kemnampuan komunikasi secara efektif, di lain pihak dapat menimbulkan konsekwensi  serius  kalau  salah  penerjemahannya. Dari  penerjemah  diharapkan
kemampuan untuk  tidak  saja  memahami arti  kata-kata itu  sendiri, tetapi  juga mengerti aspek emosional, cara berpikir   dan teknik-teknik komunikasi dari suatu kebudayaan.  Penggunaan  penerjemah  secara  efektif  mengharuskan  terciptanya
‘rapport’ secara tiga arah, yakni antara :
- Pengirim ------ penerjemah
- Pengirim ------ penerima
- Penerjemah ----- penerima
Keadaan ini sangat sulit untuk dicapai, karena penerjemah harus melakukan tugas- tuigasnya secara simultan pada satu waktu tertentu. Situasinya /penggunaannya adalah sebagai contoh di bawah ini.
Contoh penggunaan :
Pembicara                                            Penerjemah
- Mengucapkan kalimat pertama                              Mendengarkan
- Mengucapkan kalimat kedua                                 Menerjemahkan       kalimat pertama, mendengarkan kalimat kedua
- Mengucapkan kalimat ketiga                                 Mengingat kalimat pertama,
menerjemahkan kalimat kedua, mendengarkan kalimat ketiga.

1.6. Sistem Sandi Bahasa Subbudaya/Subkelompok :
Salah satu cara untuk mendalami subbudaya/subkelompok adalah dengan mempelajari penggunaan bahasanya. Hal ini disebabkan bahasa merupakan suatu
pengikat bagi pengikut-pengikut subbudaya/subekelompok, disamping  faktor-faktor lainnya seperti keanggotaan dan partisipasi dalam komunitas sosial dan budaya. Sehingga  kelompok-kelompok yang  tidak  memiliki  bahasa  khusus  jarang  dapat diakui   sebagai   suatu   subkelompok   atau   subbudaya.   Maka   subbudaya   dan
subkelompok dapat dipelajari melalui pendalaman tentang bahasa, nilai-nilai dan perilaku  anggota-anggotanya. Dasar  pemikiran  untuk  metode  analisis  demikian adalah bahwa pengalaman dan bahasa tidak dapat dipisahkan.
Dalam hal subbudaya-subbudaya yang terpisah jauh dari kebudayaan dominan, bahasa sering kali menjadi lebih penting lagi peranannya. Misalnya, dalam subbudaya menyimpang, pola-pola bahasanya dapat berkembang menjadi “argot”. Pemahaman mengenai argot penting untuk mendalami suatu subbudaya atau sub
kelompok, karena argot lebih dari sekedar bentuk bahasa khusus, mencerminkan suatu cara hidup …. Merupakan kunci bagi sikap, evaluasi tentang   manusia dan masyarakat, cara berpikir, organisasi sosial dan teknologi (Samovar,et.al. 1981 :
147).
Bagi suatu subbudaya, Argot dapat memenuhi beberapa kebutuhan pokok dan nyata, dengan fungsinya :
a.  Membantu  subbudaya  menyimpang  (counterculture)  dalam  menyediakan
sarana untuk mempertahankan diri (self defense) . Karena banyak subbudaya yang bergerak dalam lingkungan yang tidak menyukainya, anggota- angotanya menggunakan argot sebagai alat untuk saling berkomunikasi di

antara mereka sendiri, sedemikian rupa sehingga sulit bagi orang luar untuk dapat mengerti atau mendeteksi sandi-sandi yang dipakai.
b.  Menegaskan  atau  menguatkan  solidaritas  dan  kekompakan  kelompok.
Kadang-kadang ada derajat kerahasiaan yang dapat dihubungkan dengan penggunaan argot. Juga perasaan akan identitas dan kebanggaan diri dapat dihubungkan dengan kesadaran sebagai bagian dari suatu kelompok yang
telah mengembangkan bahasa khusus sendiri.
c.  Membantu menciptakan kelompok-kelompok sebagai suatu kesatuan sosial yang nyata dan berjalan terus. Pada mulanya ada beberapa orang yang berkumpul pada lokasi-lokasi khusus, misalnya golongan waria atau homo.
Lama-kelaman kumpulan itu semakin besar dan anggota-anggotanya mengembangkan perbendaharaan istilah-istilah khusus, sehingga terjadi transformasi  dari  sekedar  kumpulan  orang  menjadi  satu    subkelompok.
(Samovar, et.al , 1981 : 147-148).
Bahasa yang digunakan , kata-kata yang dipilih dan makna bagi kata-kata, memberikan pengetahuan kepada orang lain di luar kelompok tentang pengalaman- pengalaman subbudaya atau sub kelompok. Termasuk dalam hipotesis ‘Sapir-Whorp’ ialah bahwa orang biasanya memberikan nama atau istilah bagi gagasan, konsep dan perasaan yang ada dalam lingkungannya. Dalam banyak subbudaya dan sub kelompok , istilah-istilah itu menunjukkan bagaimana persepsi dan interaksi mereka dengan kebudayaan dominan.
Beberapa karakteristik dari “argot” ialah :
(1) Kata-kata dalam “argot” selalu berubah-ubah : perubahan biasanya demikian cepat  terjadi,  sehingga  banyak  kata-kata  dan  ungkapan  –  ungkapan  yang
dianggap ketinggalan jaman dalam jangka waktu yang sangat singkat.  Hal ini
sengaja dilakukan untuk menjaga kerahasiaan, terutama kalau kebudayaan dominan sudah mempelajarinya atau kata-kata dari “argot” sudah memasuki
perbendaharaan masyarakat umum. Kadang-kadang untuk menyesatkan, arti dari kata-kata baru yang dipakai sebenarnya sampai berlawanan dari fenomena yang digambarkannya.
(2) Banyak  kata-kata  atau  ungkapan  –  ungkapan  yang  sifatnya  regional  atau kenegaraan.
2.   Proses-Proses Nonverbal
Komunikasi nonverbal memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia, walaupun hal ini sering kali tidak kita disadari. Padahal kebanyakan ahli komunikasi akan sepakat apabila dikatakan bahwa dalam interaksi tutup muka umumnya, hanya 35 persen dari “social context” suatu pesan yang disampaikan dengan kata-kata. Maka ada yang mengatakan bahwa bahasa verbal penting tetapi bahasa nonverbal tidak kalah pentingnya, bahkan mungkin lebih penting, dalam peristiwa komunikasi. (Samovar et-al, 1981:155).
Baik  secara  sadar  maupun  tidak  sadar,  dengan  maksud  maupun  tidak dengan maksud, kita mengirim   dan menerima pesan nonverbal. Bahkan kita membuat penilaian dan keputusan berdasarkan data nonverbal tersebut.
Pesan   atau   perilaku   nonverbal   menyatakan   pada   kita   bagaimana
menginterprestasikan pesan-pesan lain yang terkandung didalamnya, misalnya : apa orang yang menyatakan pesan itu serius, bercanda, mengancam dan lain-lain. Hal demikian disebut : “second-order message” atau “meto-communication” (Gregory Bateson), yakni merangka yang mengelilingi pesan sehingga merupakan pedoman untuk penafsiran.
Edward T. Hall (1959) menyebutkan fenomena nonverbal ini sebagai “silent language”   ia   menyatakan  pendapatnya  bahwa   kesulitan   oarang   AS   dalam


berhubungan dengan orang-orang dengan negara-negara lain, adalah karena kurangnya pengetahuan tentang komunikasi silang budaya. Pendidikan formal tentang bahasa, sejarah, pemerintahan, kebiasaa dari negara-negara lain hanyalah langkah pertama dari suatu program menyeluruh. Padahal suatu hal yang sama pentingnya adalah proses nonverbal yang ada dalam setiap negara di dunia dan di antara macam-macam kelompok dalam masing-masing negara.
2.1. Pengertian Komunikasi Nonverbal
Untuk  merumuskan  pengertian  “komunikasi  nonverbal”,  biasanya  ada beberapa defenisi yang digunakan secara umum :
-     Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.
-     Komunikasi   nonverbal   terjadi   bila   individu   berkomunikasi   tanpa menggunakan suara.
-     Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi makna oleh orang lain.
-     Komunikasi nonverbal adalah suatu mengenai ekspresi, wajah, sentuhan, waktu,  gerak,  syarat,  bau,  erilaku  mata  dan  lain-lain.  (Malandro &
Barker, 1983:6).
Komunikasi nonverbal adalah proses yang dijalani oleh seorang individu atau lebih pada saat menyampaikan isyarat-isyarat nonverbal yang memiliki potensi untuk
merangsang makna dalam pikiran individu atau individu-individu lain.

2.2. Perbedaan Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Malandro dan Barker (1983:7-8) membahas perbedaan antara komunikasi verbal dan nonverbal dari dimensi-dimensi yang dimiliki oleh keduanya antara lain :
(1) Struktur VS Nonstruktur :
Komunikasi verbal sangat berstruktur dan mempunyai hukum atau aturan-aturan tata bahasa. Dalam komunikasi nonverbal hampir tidak ada sama sekali struktur
formal yang mengarahkan komunikasi. Kebanyakan komunikasi nonverbal terjadi secara tidak disadari, tanpa urutan-urutan kejadian yang dapat diramalkan sebelumnya.  Tanpa  pola  yang  jelas,  perilaku  nonverbal  yang  sama  dapat
memberi arti yang berbeda pada saat yang berlainan.
(2) Linguistik VS Nonlinguistik :
Linguistik adalah ilmu yang mempelajari asal usul, struktur, sejarah, variasi regional dan ciri-ciri fonetik dari bahasa. Dengan kata lain linguistik mempelajari
macam-macam segi bahasa verbal, yaitu suatu sistem dari lambang-lambang
yang sudah diatur pemberian maknanya. Sebaliknya pada komunikasi noonverbal karena tidak adanya struktur khusus, maka sulit untuk memberi makna pada
lambang. Belum ada sistem bahasa nonverbal yang didokumentasikan, walaupun
ada  usaha  untuk  memberikan  arti  khusus  pada  ekspresi  –  ekspresi  wajah tertentu. Beberapa teori mungkin akan memberikan pengecualian pada bahasa
kaum tunarungu yang berlaku universal, sekalipun ada juga lambang- lambangnya yang bersifat unik.
(3) Sinambung (“Continuous”) VS tidak sinambung (“Undiscontinuous”)
Komunikasi nonverbal dianggap sinambung, sementara komunikasi verbal didasarkan  pada  unit-unit  yang  terputus-putus. Komunikasi  monverbal  baru berhenti bila orang yang terlibat dalam komunikasi meninggalkan suatu  tempat. Tetapi selama tubuh, wajah dan kehadiran kita masih dapat dipersepsikan oleh orang lain atau diri kita sendiri, berarti komunikasi nonverbal dapat terjadi. Tidak sama halnya dengan kata-kata dan simbol dalam komunikasi nonverbal yang mempunyai tiitk awal dan akhir yang pasti.

(4) Dipelajari VS didapat secara alamiah :
Jarang sekali individu yang diajarkan cara untuk berkomunikasi secara nonverbal. Biasanya ia hanya mengamati dan mengalaminya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa manusia lahir dengan naluri – naluri dasar nonverbal. Sebaliknya komunikasi  verbal adalah suatu yang harus dipelajari.

(5) Pemrosesan dalam bagian otak sebelah kiri VS Pemrosesan dalam bagian otak sebelah kanan :
Pendekatan neurofisiologik melihat perbedaan dalam pemrosesan stimuli verbal
dan nonverbal pada diri manusia. Pendekatan ini menjelaskan bagaimana kebanyakan stimuli nonverbal diproses dalam bagian otak manusia sebelah kanan,  sedangkan  stimuli  verbal  yang  memerlukan  analisa  dan  penalaran diproses dalam bagian otak sebelah kiri. Dengan adanya perbedaan ini maka kemampuan untuk mengirim dan menerima pesan berbeda pula. Kemungkinan terjadi bahwa individu tidak mempergunakan kemampuan otak itu sesuai dengan yang diperlukan pada suatu saat, sehingga mengacaukan isi pesan.
Samovar, Porter dan Jain melihat perbedaan antara komunikasi verbal dan nonverbal dalam hal sebagai berikut (Samovar,et-al,1981:160) :
(1) Banyak  perilaku  nonverbal  yang  diatur  oleh  dorongan-dorongan  biologik.
Sebaliknya komunikasi verbal diatur oleh aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang dibuat oleh manusia, seperti sintaks dan tata bahasa. Misalnya : kita bisa secara sadar memutuskan untuk berbicara, tetapi dalam berbicara secara tidak sadar pipi menjadi merah dan mata menjadi berkejap-kejap terus menerus.
(2) Banyak  komunikasi  nonverbal  serta  lambang-lambangnya  yang  bermakna universal. Sedangkan komunikasi verbal lebih banyak yang bersifat spesifik bagi kebudayaan tertentu.
(3) Dalam komunikasi nonverbal bisa dilakukan beberapa tindakan sekaligus dalam
satu waktu tertentu, sementara komunikasi verbal terikat pada urutan waktu.
(4) Komunikasi nonverbal dipelajari sejak usia sangat dini.  Sedangkan penggunaan lambang berupa kata sebagai alat komunikasi membutuhkan sosialisasi sampai
tingkat tertentu terlebih dahulu.
(5) Komunikasi  nonverbal  lebih  dapat  memberi  dampak  emosional  dari  pada komunikasi verbal.

2.3  Penggunaan bersama lambang Verbal dan Nonverbal :
Dalam  kebanyakan  peristiwa  komunikasi  perilaku  nonverbal  digunakan secara bersama-sama dengan bahasa verbal (Samovar, et-al, 1981:161) :
(1)  Perilaku nonverbal memberi aksen atau penekanan pada pesan verbal. Misalnya
: menyatakan terima kasih dengan tersenyum.
(2)  Perilaku  nonverbal  sebagai  pengulangan  dari  bahasa  verbal.  Contohnya  :
menyatakan   arah   tempat   dengan   mengatakan   “perpustakaan   terletak dibelakang  gedung  ini”,  kemudian  mengulang  pesan  yang  sama  dengan
menunjuk arahnya.
(3)  Tindakan  nonverbal  melengkapi  pernyataan verbal.  Misalnya  :  mengatakan maaf  pada  teman  kerena tidak dapat meminjamkan uang; dan  agar lebih
dipercaya  pernyataan  itu  ditambah  lagi  dengan  ekspresi  muka  sungguh- sungguh atau memperlihatkan saku kosong.
(4)  Perilaku   nonverbal   sebagai   pengganti   dari   yang   verbal.   Contohnya   :
menyatakan rasa haru tidak dengan kata-kata, melainkan dengan mata yang berlinang-liang.

 (5) Tindakan nonverbal berlawanan dengan unsur-unsur verbal. Misalnya : menyatakan   sangat tertarik pada suatu lukisan tanpa pernah memandang sekalipun.
2.4.     Beberapa Fungsi Komunikasi Nonverbal
Ada  lima  fungsi  khusus  perilaku  nonverbal  selama  terjadinya  interaksi
(Samovar, et.al 1981 : 158). :
1.  Sebagai kesan pertama, yang membentuk kerangka untuk persepsi terhadap makna komunikasi selanjutnya. Misalnya penampilan rapi dan  anggun memberi  kesan  bahwa  kita  tidak  boleh sembarangan
memperlakukan seseorang.
2. Memberi pesan mengenai hubungan, yang menjelaskan tingkat kedekatan hubungan. Misalnya   kita menempatkan diri secara fisik,
jauh atau dekat, untuk menunjukkan siapa yang dapat turut dilibatkan dalam percakapan.
3.  Mengungkapkan keadaan emosional (afektif) , misalnya melalui sikap tubuh, suara ekspresi muka dan mata.
4.  Sebagai cara untuk menampilkan gambaran diri kepada pihak lain.
Contohnya : mempergunakan lambang-lambang nonverbal seperti mobil yang dikendarai, pakaian yang dikenakan, sebagai pesan yang
diharapkan dapat mempengaruhi orang lain dalam menentukan siapa diri kita dan apakah ia merasa perlu untuk meningkatkan hubungan selanjutnya.
5.  Secara sadar maupun tidak sadar mengubah pemikiran dan tindakan
pihak  lain.  Misalnya  memandang  dengan  muka  gusar  dan  mata melotot agar pihak lain menghentikan ucapan atau tindakannya.
2.5.     Komunikasi Nonverbal dan Kebudayaan
Hubungan antara komunikasi nonverbal dan kebudayaan jelas adanya, apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertian- pengertian yang  harus dimiliki bersama. Dilihat dari  segi  ini, dapat dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural. Sebagaimana aspek verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan,
yaitu :
(1) Kebudayaan  menentukan  perilaku-perilaku  nonverbal  yang  mewakili  atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator.
(2) Kebudayaan   menentukan   kapan   waktu   yang   tepat   atau   layak   untuk mengkomunikasikan pemikiran, perasaan, keadaan internal. Jadi walaupun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal, tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh
siaa dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan.
Pengenalan  dan pemahaman tentang pengaruh kebudayaan pada interaksi nonverbal merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam KAB, karena:
(1) Dengan   mengerti   pola-pola   dasar   pengetahuan   nonverbal   dalam   suatu
kebudayaan, kita dapat mengetahui sikap-sikap dasar dari kebudayaan tersebut. Misalnya dengan memperhatikan tindak tanduk para pegawai pria Jepang dalam membuat pertemuan-pertemuan di restoran pada malam hari, kita dapat mempelajari sedikit tentang sikap mereka terhadap pekerjaan dan wanita.
(2) Pola-pola  perilaku nonverbal dapat memberikan informasi tentang sistem nilai suatu  kebudayaan.  Misalnya  :  tentang  konsep  waktu  kebudayaan  dengan orientasi pada “doing” (aktif melakukan sesuatu) seperti AS akan cenderung
untuk menganggap situasi tanpa kata-kata sebagai membuang-buang waktu. Bagi kebudayaan dengan orientasi pada “being” (keberadaan), suasana hening dalam pembicaraan mempunyai nilai positif, karena penting untuk pemahaman diri dan kesadaran akan keadaan.
(3) Pengetahuan tentang perilaku nonverbal dapat membantu untuk menekan rasa etnosentrisme. Misalnya : kita mungkin akan lebih memahami penggunaan jarak
ruang oleh orang lain, jika kita sadar akan karakteristik-karakteristik kebudayaan yang mendasarinya, yang mencerminkan sesuatu tentang si pengguna dan kebudayaannya. (Samovar,et.al. 1981:162-163)
2.6.     Macam-macam Perilaku Nonverbal :
Dalam perilaku nonverbal dapat dibagi lagi secara garis besar ke dalam
(Samovar, et.al., 1981:163-165; dan Dobb, 1982:219-242); (1) Penampilan (“objecties”)
(2) Gerakan badaniah (“Kinesics”)
(3) Persepsi Inderawi (“Sensorics”)
(4) Penggunaan ruang jarak (“Proxemics”)
(5) Penggunaan waktu (“Chronemics”) Ruben, 1984:129-155.
Berikut adalah pembahasan tentang contoh-contoh perilaku nonverbal, khususnya dalam konteks antar budaya.
(1). Penampilan :
Untuk memutuskan apakah akan memulai pembicaraan dengan orang lain, tidak jarang kita dipengaruhi oleh penampilan. Kadang-kadang kesimpulan tentang kecerdasan,   status   sosial,   pekerjaan   seseorang   ditarik   dari   bagaimana   ia
menampilkan dirinya. Misalnya : cara berpakaian. (2) Gerakan Badaniah (“kinesics”) :\
Dalam beberapa tahun terakhir, buku-buku dan artikel mengenai ‘bahasa badan’ (“body  language”) telah  memusatkan perhatian pada cara-cara manusia
menggunakan  gerak  isyarat  badan  sebagai  suatu  bentuk  komunikasi.  Studi sistematik yang berupaya untuk menformalisasikan dan mengkordifikasikan perilaku badaniah  ini  disebut  “Kinesics”. Studi  Kinesics  mempelajari  bagaimana isyarat-
isyarat nonverbal ini, baik yang sengaja maupun tidak, dapat mempengaruhi komunikasi. Salah satu contoh adalah : kita menyatakan sikap kepada orang-orang lain dengan beberapa cara, misalnya : kita menunjukkan   bahwa kita menyukai seseorang dengan menghadapkan badan kita padanya, bukan dengan mengelak.
Juga mencondongkan bada kita kepada orang lain menandakan sikap positif kepadanya atau bisa juga sikap agresif.
Setiap kebudayaan mempertunjukkan gerakan badan dan sikap badan yang
baik. Misalnya dalam hal : postur atau sikap badan, gerak, isyarat badan, gerakan kepala, ekspresi muka, kontak mata dan tatapan, serta gerakan tangan dan lengan.

(3) Persepsi Inderawi (“Sensorics”) (3.1) Rabaan atau Sentuhan
Kebudayaan  mengajarkan  pada  anggota-anggotanya sejak  kecil  tentang siapa yang dapat kita raba, bilamana dan dimana kita bisa raba atau sentuh. Dalam banyak  hal  juga,  kebudayaan  mengajarkan  kita  bagaimana  nafsirkan  tindakan
perabaan atau sentuhan.
Dalam hal berjabatan tangan juga ada variasi kebudayaannya. Di negara jerman orang berjabat tangan hampir pada setiap kali pertemuan, sehingga sedikit
modifikasinya dari satu situasi ke situasi yang lain. Tetapi di AS, jabatan tangan lebih digunakan  untuk  menunjukkan  perasaan,  misalnya  jabatan  tangan  yang  kuat, lemah, atau sensual.

Ó2002 digitized by USU digital library                                                                 17
Setiap kebudayaan juga memberikan batasan pada bagian-bagian mana dari badan yang dapat disentuh, dan mana yang dapat diraba. Misalnya, di Indonesia umumnya, kepala dianggap badan yang terhormat, karenanya tidak sopan untuk disentuh atau disenggol oleh orang lain apalagi oleh orang yang belum dikenal. Orang Arab sebaliknya, akan merasa sangat tersinggung bila bagian kedukannya dipegang, sedangkan kepala tidak apa-apa.

(3.2). Penciuman (“Olfaction”) :
Indera penciuman dapat berfungsi sebagai saluran untuk membangkitkan makna. Berapa contoh dibawah ini melukiskan peranan penciuman dalam berbagai
kebudayaan.
Di negara-negara yang penduduknya tidak terlalu banyak mengkonsumsikan daging, ada anggapan bahwa orang-orang AS mengeluarkan bau yang tidak enak
karena terlalu banyak makan daging. Persepsi mengenai bau memang berbeda antar satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Jika orang AS merupakan pencerminan dari kebudayaan yang anti bau, maka di beberapa negara Arab, prianya mengingingkan kaum wanitanya untuk mempunyai bau alam, yang dianggap sebagai
perluasan dari pribadi individu.

(4) Penggunaan Ruang Jarak (“Proxemics”)
Cara kita menggunakan ruang jarak sering kali menyatakan kepada orang lain sesuatu mengenai diri kita secara pribadi maupun kebudayaan. Aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang menentukan ruang jarak dipelajari sebagai bagian dari masing-masing kebudayaan.
Contoh penggunaan ruang jarak di kantor-kantor. Orang AS lebih suka ada meja yang membatasi dirinya dengan orang lain. Dalam kebudayaan lainnya seperti Amerika Latin atau Israel, meja dianggap membatasi komunikasi, sehingga orang berusaha  untuk  mendekati  pihak  yang  diajak  berbicara.  Orang  AS  lebih  suka
membiarkan pintu kamar kerjanya terbuka dan kalau ditutup berarti ada suatu rahasia atau hal  yang serius yang dibicarakan. Sedangkan orang Jerman biasa menutup pintu kamar kerjanya dan kalau ada yang membuka atau masuk tanpa
permisi, dianggap sangat kurang ajar. Orang Indonesia belajar ntuk membuat batas tembok dengan orang lain, yaitu dengan cara bicara dalam nada rendah atau diam. Kebiasaan ini bagi orang AS dapat dianggap sebagai “silent treatment” yang menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan sedang marah.

(5) Sikap terhadap Waktu (“Chronemics”)
Kebiasaan – kebiasaan bisa berbeda pada macam-mcam kebudayaan dalam
hal :
-     Persiapan berkomunikasi
-     Saat dimulainya komunikasi
-     Saat proses komunikasi berlangsung
-     Saat mengakhiri

(6). “Paralanguage”
Sesungguhnya termasuk dalam unsur-unsur linguistik, yaitu bagaimana atau cara sesuatu pesan diungkapkan dan bukan isi pesan itu sendiri. “Paralanguage”
memberikan informasi mengenai informasi, atau apa yang disebut “metakomunikasi”
(Ruben, 1984:115). Termasuk dalamnya ialah aksen, volume suara, nada suara, intonasi suara, kecepatan bicara, penggunaan waktu berhenti dalam bicara. Dalam
bahasa  tertulis  antara  lain  penggunaan tanda-tanda, pengejaan, coretan,  spasi
antara kata, struktur kalimat, gaya penulisan, tulisan tangan, warna tinta. Semua itu dapat mempengaruhi reaksi atau penafsiran terhadap pesan.


Ó2002 digitized by USU digital library                                                                 18
Tingkat kerasnya suatu atau volume sering kali merupakan bagian dari gaya komunikasi suatu kebudayaan. Demikian juga dialek atau pola intonasi bahasa dapat menunjukkan karakteristik dari penduduk suatu daerah atau negara. Dalam KAB tidak sedikit terdapat kecenderungan untuk mengolok-olok pola-pola intonasi yang asing  atau  aneh.  Bahkan  sering  terjadi  bahwa  dialek  dapat  menentukan sikap terhadap orang lain. Biasanya dialek yang lain dari apa yang dianggap sudah standar atau baku, akan memperoleh penilaian yang kurang.

3.  Membaca Bahasa Tubuh
Para peneliti telah menemukan bahwa dalam tahun-tahun belakangan ini terdapat suatu sistem isyarat tubuh yang hampir sekonsisten dan sekonprehensif
bahasa.  Maka  suatu  bidang  baru  yang  subur  ini  telah  terbuka  untuk  diteliti.
Asumsinya bahwa gerakan-gerakan tubuh mempunyai makna dalam konteks tertentu.
Diakui bahwa setiap budaya memiliki bahasa tubuhnya sendiri. Anak-anak
menyerap nuansa-nuansanya bersama-sama bahasa ucap. Seorang Perancis berbicara  dengan cara bahasa Perancis. Seorang Amerika menggerakkan tubuhnya
dengan cara bahasa Amerika. Beberapa perbedaan kebudayaan mungkin dengan mudah dapat dikenali namun ada juga yang sukar. Laki-laki dan wanita menggunakan  bahasa  tubuh  dengan  cara-cara  yang  khas  maskulin  dan  khas
feminim. Latar belakang etnis, kelas sosial, gaya pribadi dan lain-lain,  ini semua akan mempengaruhi bahasa tubuh kita.
Biasanya dalam berlangsungnya bahasa tubuh menggunakan sekaligus kedua-duanya yaitu bahasa verbal dan bahasa non verbal. Misalnya seorang wanita
berkeluh kesah tentang wanita lain    “saya tidak tahu bagaimana saya mengetahuinya, tetapi saya yakin bahwa ia tidak menyukai saya”. Ini menunjukan tidak hanya perasaan yang diekspresikan secara non verbal namun gerakan tubuh, prilaku mata dapat memberi penafsiran/menguhukuhkan rasa tidak suka tersebut.

Ó2002 digitized by USU digital library                                                                 19
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM BERBAGAI SITUASI PERBEDAAN KEBUDAYAAN

1. Situasi Komunikasi Antar Pribadi – Antar Budaya
Jika kita bicara tentang komunikasi antar pribadi, maka yang dimaksud adalah dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau nonverbal secara
langsung. Apabila kita tambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi  antar budaya. Maka   acapkali dikatakan juga bahwa KAB merupakan komunikasi antar pribadi dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya.

1.1 Prinsip-prinsip Hubungan Antar Pribadi :
KAB sangat  berkaitan dengan persepsi mengenai orang lain dan akibat dari persepsi  tersebut  dapat  sifat  hubungan  yang  terbentuk.  Misalnya,  jika  kita
mempersiapkan orang lain memiliki nilai-nilai yang sama dengan kita sendiri, maka
kita akan lebih tertarik padanya. Atau kita mendapatkan bahwa seseorang, selain bersifat  ramah,  juga  luas  pengetahuannya  mengenai  sesuatu  topik  yang  kita
senangi, maka komunikasi antar pribadi meningkat dan terus berkembang berdasarkan persepsi tadi. Dalam hubungan antar pribadi ada beberapa konsep mendasar :
1.1.1. Homofilli :
Yakni  derajat  kesamaan  antara  individu-individu  yang  terlibat  dalam interaksi  antar  pribaid.  Seringkali  kita  mendapatkan  bahwa  kita  lebih percaya pada orang-orang yang sudah dikenal dari pada  orang yang masih
asing. Atau kadan-kadang sesudah berkenalan dengan seseorang, kita merasakan telah menemukan kecocokan dengannya. Salah satu hal yang dapat  menjelaskan keadaan  ini  adalah  persepsi  akan  identifikasi, yakni dirasakan  terdapat  semacam  hubungan  karena  adanya  kesamaan,  baik
dalam segi penampilan, unsur, pendidikan, etnisitas, tempat tinggal atau wilayah geografik, pandangan politik, moral dan lain-lain.
1.1.2  Kredibilitas :
Percaya tidaknya seseorang kepada orang lain tergantung kepada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas komunikasi :
(a). Kompetensi     : dengan kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu yang dipersepsikan dengan orang lain.
(b). Karakter          : persepsi tentang moral, nilai-nilai, etika, dan integritas dari komunikasi
(c). Ko-orientasi     : derajat kesamaan yang dipersepsikan mengenai
tujuan-tujuan dan nilai-nilai.
(d). Kharisma         : derajat kepercayaan akan kualitas-kualitas kepemimpinan khusus yang dipersepsikan, terutama dalam keadaan-keadaaan krisis dan menentukan.
(e). Dinamika         : derajat tentang entusiasme dan perilaku-perilaku nonverbal yang dipersepsikan.
(f). Jiwa sosial        : derajat keramahan yang dipersepsikan.

Kredibilitas tidak sekedar mencakup arti pendengar mempersepsikan bisa dipercaya atau tidaknya pembicara, karena studi KAB meliputi sifat hubungan dari kredibulitas. Kredibilitas dari masing-masing komunikator, khususnya pada tingkat antar peribadi mempengaruhi sikap masing-masing terhadap lainnya dan menciptakan kondisi bagi komunikasi antar budaya yang efektif. Rasa saling menghargai akan meningkatkan harapan yang tinggi terhadap masing-masing, sehingga dapat dicapai hubungan yang menguntungkan masing-masing pihak.

Ó2002 digitized by USU digital library                                                                 20
Kredibilitas bisa berperan penting dalam KAB. Misalnya seseorang A dengan reputasinya tinggi akan intelegensi dan hasil karyanya di interview oleh B untuk suatu pekerjaan,. Pada saat interview, A berpakaian sembarangan, berbicara dengan lesuh, menunjukkan sikap negatif dan bertingkah laku sedemikian sehingga memperkuat stereotip negatif tentang kebudayaannya. Akhirnya ia tidak diterima dalam pekerjaannya. Mengapa ? karena kredibilitas A tidak saja ditentukan oleh reputasinya, tetapi juga muncul dari persepsi B tentang A.  Contoh lain adalah tidak diterimanya seseorang bekerja bisa saja disebabkan karena faktor ras atau kebudayaannya.

1.1.3  Kesediaan membukan diri (Self-Disclosure) :
Terjadi bilamana seseorang menyampaikan informasi tentang dirinya sendiri pada orang lain. Penelitian telah menunjukkan hubungan erat antara kesediaan
membuka diri dengan kepercayaan, kesukaan dan sama-sama membuka diri. Jika saling  percaya  antar  pribadi  meningkat,  maka  kesediaaan  membuka  diri  juga semakin meningkat. Sebaliknya, dengan adanya kesediaan membuka diri, maka lebih besar kemungkinannya bahwa kesukaan terhadap orang lain akan terjadi.
Walaupun belum tentu setiap keterbukaan diri pasti menghasilkan dampak positif, tetapi iklim kesediaan membuka diri dapat menghasilkan kepercayaan sebagaimana kepercayaan membuka diri  pada salah satu pihak cenderung untuk mendorong
kesediaan membuka diri pada pihak lainnya. Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok pria dan wanita di AS. Wanita cenderung lebih bersedia membuka diri dibandingkan dengan pria, apalagi terhadap orang-orang yang sudah mereka kenal.

1.1.4  Dominasi dan Submisi :
Sebagaimana halnya dengan dunia binatang, kehidupan manusia diwarnai oleh sifat, dominasi-submisi, misalnya antara majikan dan bawahan, dokter-pasien,
orang tua-anak, guru-murid, dll. Sifat hubungan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan kebudayaan seperti :
(a) Peranan :
seseorang akan berkomunikasi dan berperilaku tertentu karena peranan sosialnya menuntut demikian. Misalnya seseorang yang nampaknya galak dan keras dalam melaksanakan pekerjaannya di kantor, ternyata dapat berlaku simpatik dan menyenangkan dengan keluarga dan teman- temannya.
(b). Status :
Persepsi mengenai status orang lain dapat mempengaruhi sifat hubungan dominasi-submisi. Dalam kebudayaan-kebudayaan Asia, Afrika dan Timur
Tengah, umur merupakan indikator status. Tidak demikian halnya dengan
di AS. Seringkali dinasehatkan pada orang-orang AS yang bekerja dalam situasi internasional, agar mengikuti dan  menghargai norma-norma yang
berlaku di masyarakat setempat.

1.1.5  Formalitas :
Persepsi mengenai derajat formalitas yang kita anggap sesuai bagi sifat hubungan.  Misalnya,  dengan  kawan  sejawat,  tidak  perlu  formalitas.  Konsep
formalitas – informalitas juga penting artinya dalam KAB. Contohnya, seseorang
yang berasal dari kebudayaan yang memandang hpenting struktur hierarki dalam hubungan antar pribadi, bertemu dengan seseorang yang menganggap hubungan
sebaiknya  bersifat  sejajar,  maka  akan  timbul  kesulitan.  Orang  pertama  akan
berbicara secara informal dengan menggunakan nama kecil, sedangkan orang kedua

Ó2002 digitized by USU digital library                                                                 21
lebih memilih untuk dipanggil dengan titel lengkap. Hal demikian akan menimbulkan suasana tidak nyaman bahkan memalukan.

1.1.6  Ketertarikan antar Pribadi (interpersonal attraction)
Orang biasanya mengembangkan sikap positif terhadap orang-orang lain dari segi kehadirannya, penghargaan terhadap kemampuannya dan kekaguman akan
penampilan. Dari segi pandangan antar budaya, faktor-faktor penarikan tersebut dapat dilihat secara tersendiri. Keindahan fisik, misalnya, tidak saja ditentukan secara pribadi,  tetapi juga banyak  oleh norma-norma budaya. Penelitian-penelitian tentang homofili menunjukkan bahwa ketertarikan antar pribadi dapat didasarkan
pada similititas etnik atau rasial. Lebih jauh lagi, ketertarikan antar pribadi antar budaya disebabkan oleh adanya tujuan ataupun situasi bersama. Misalnya orang- orang yang mempunyai profesi sama sebagai tukang becak akan memiliki solidaritas
yang besar karena merasakan senasib dalam penderitaan.

1.1.7  Hubungan-hubungan kerja secara antar pribadi
Banyak   perinsip-perinsip   management   dan   prosedur-prosedur   kerja standard yang ternyata tidak dapat diterapkan dalam situasi-situasi antar budaya,
sehingga  acapkali  diperlukan  restrukturisasi  organisasi  dan  perubahan  gaya
management  untuk memenuhi kebuthan-kebutuhan kebudayaan. Dapat disebutkan antara lain  beberapa hal  yang perlu untuk dipahamai karena faktor perbedaan
kebudayaan :
-     Kecepatan kerja dan efisiensi
Dalam beberapa kebudayaan, penyelesaian sesuatu pekerjaaan tidak seberapa dipentingkan untuk  mengejar waktu dengan berpatokan pada
efisiensi, tetapi lebih dipentingkan faktor saling menghargai satu sama
lain antara para pekerjaannya dan usaha untuk membina hubungan antar pribadi dengan sedapatnya melibatkan semua pihak dalam proyek.
-     Konsep tentang waktu :
Banyak  kebudayaan-kebudayaan seperti  di  Asia,  Afrika  dan  Amerika
Latin yang tidak memandang waktu sebagai sesuatu yang sangat dipentingkan seperti uang.
-     Kerja dan Persahabatan/Pergaulan :
Ada kebudayaan-kebudayaan yang mencampurkan kerja dengan hiburan dan membina persahabatan dalam kehidupan sosial. Dipihak lain, ada
kebudayaan-kebudayaan yang secara tegas memisahkan pekerjaan dan kehidupan sosial.
-     Peranan yang diharapkan dari seorang manager :
Dalam beberapa kebudayaan, pihak management diharapkan dapat turut bertanggung jawab juga atas keseluruhan penghidupan bawahannya, termasuk masalah-masalah pribadi, kesehatan, kesejahteraan anak, dan lain-lain.
-     Cara membicarakan masalah :
Beberapa kebudayaan, seperti Amerika dan Eropa Utara mengharapkan orang untuk berbicara langsung menuju sasaran, karena menghemat waktu yang sangat berharga. Tetapi tidak sedikit juga kebudayaan yang
menganggap tidak sopan untuk berbicara langsung membicarakan masalah tanpa sebelumnya berbasa-basi, menunggu saatnya yang tepat.

2.  Situasi Komunikasi Massa - Antar Budaya :
Sebagaimana  halnya  dengan  penelaahan  mengenai  komunikasi  antar pribadi, dalam memahami KAB sebagai proses komunikasi massa ini, kitapun tidak

Ó2002 digitized by USU digital library                                                                 22
dapat melepaskan diri dari masalah antar budaya. Salah satu aspek yang relevan ialah efek media massa.
Dalam dua dekade sebelum pertengahan tahun 1940-an , para ahli media massa umumnya meyakini bahwa media massa dapat secara kuat mempengaruhi khalayak yang pasif. Keyakinan ini  diwakili oleh model jarum hipodermik yang sangat populer saat itu. Kemudian sejak pertengahan tahun 1940-an sampai tahun
1960, peneliti-peneliti menggali beberapa faktor lain yang berperan bersama-sama dengan media massa dan menemukan bahwa pengaruh media sangat erat hubungannya dengan seperangkat variabel lain. Maka yang disebut pengaruh media massa  tidak  lain  adalah  merupakan  akibat  dari  media,  ditambah  unsur-unsur
intervening lainnya, seperti :
a. Jaringan-jaringan antar peribadi
b. Norma-noma, nilai-nilai kebudayaan dan pandangan mengenai dunia
c. Kategori-kategori demografi (seperti umur, pendidikan pekerjaan, etnisitas dan lain-lain) serta keanggotaan kelompok.
d. Motivasi, kebutuhan dan car-cara permuasan kebutuhan e. Karekteristik –kartekteristik pribadi.
Jika demikian keadaannya, maka dalam hal apa saja media massa mempunyai pengaruh ? Beberapa hasil penelitian tentang efek persuasif dari media massa  menunjukkan  pada  peranan  pokok  media  massa  untuk  menyampaikan
informasi, tetapi tidak untuk meyakinkan khalayak agar mereka berubah atau mengadopsi sesuatu. Karenanya, dapat disimpulkan bahwa media massa cenderung untuk menyadarkan khalayak tentang informasi dan membujuk secara tidak langsung,  bersama-sama dengan  pengaruh  persuasif  dari  sumber-sumber antar
peribadi.
Menurut Dodd (1982 : 256-257), efek persuasif media massa adalah :
a.  Media massa menjalankan fungsi memberi kesadaran , membangkitkan minat terhadap suatu peristiwa atau gagasan melalui penerangan langsung tentang
eksistensinya.
b.  Media massa mengembangkan agenda dalam arti menjaring perhatian khalayak akan topik-topik kemasyarakatan yang dianggapnya penting.
c.  Media massa berperan sebagai pendorong perubahan, dengan menciptakan iklim yang memudahkan terjadinya perubahan.
d.  Media massa bekerja bersama-sama dengan dan melalui sarana-sarana antar pribadi, hal mana tentunya tergantung pada situasi dan kondisi khalayaknya.
e.  Dibandingkan komunikasi antar pribadi, media massa kurang besar pengaruhnya dalam persuasi untuk pengambilan keputusan, terutama dalam masyarakat yang belum maju atau sedang berkembang.
f.   Media  massa dapat  merangsang timbulnya desas-desus, sebab  dengan sifat beritanya yang harus singkat dan padat, kadang-kadang malah menimbulkan ketidak-jelasan dan keragu-raguan pada khalayak.

3.   Komunikasi Antar Budaya dan Perubahan Sosial :
Penelaahan tentang KAB tidak akan lengkap tanpa memperhatikan salah satu bidang penelitian dalam   komunikasi, yaitu perubahan sosial pandangan komunikasi yang mendasari dari perubahan sosial ialah mengenai proses komunikasi
antara orang dengan orang lain tentang suatu pesan, yang disebut difusi.
Difusi inovasi menunjukkan pada penyebaran suatu gagasan, atau teknologi, yang dianggap “baru” dalam suatu kebudayaan. Kebaruan ini bersifat relatif, karena
suatu inovasi dapat dianggap baru oleh suatu kebudayaan tetapi tidak asing lagi untuk kebudayaan lain, tergantung dari wilayah geografik sistem sosial budayanya.
Difusi tidak saja menyangkut “siapa berbicara dengan siapa”, tetapi terlebih lagi merupakan proses komunikasi antar pribadi yang diterapkan dengan tujuan


Ó2002 digitized by USU digital library                                                                 23
membujuk, mendorong perubahan sosial atau perkembangan masyarakat. Penelitian tentang Difusi tidak saja mempelajari sejumlah  variabel komunikasi variabel, sosial dan demografik dalam proses Difusi, tetapi juga menggali akibat-akibat dari kesadaran mengenai pesan, yakni penerimaan (“adoption”) atau penolakan (“rejections”) suatu inovasi. Keseluruhan proses memakan beberapa waktu, karena orang terkena dan memberikan reaksi terhadap pesan dan waktu-waktu yang berlainan. Maka, difusi merupakan penyebaran informasi baru pada tingkat “grass roots” yang biasanya diarahkan untuk perubahan sosial.

4.  Komunikasi Antar Budaya dan Akulturasi :
Jika seseorang memasuki alam kebudayaan baru, timbul memacam kegelisahan dalam dirinya. Kecenderungan dalam menghadapi sesuatu yang baru ini bersifat alami dan normal. Tetapi perasaan itu dapat mengarah pada rasa takut, tidak percaya diri, tekanan dan frustasi. Apabila hal demikian terjadi pada seseorang, maka dikatakan ia sedang mengalami “culture shock”, yakni masa khusus transisi serta perasaan-perasaan unik yang timbul   dalam diri orang setelah ia memasuki suatu kebudayaan baru.
Orang  yang  mengalami  fenomena  “culture  shock”  ini  akan  merasakan gejala-gejala fisik  seperti  pusing,  sakit  perut,  tidak  bisa  tidur,  ketakutan yang berlebihan terhadap hal yang kurang bersih dan kurang sehat, tidak berdaya dan menarik diri, takut ditipu, dirampok, dilukai, melamun, kesepian, disorientasi dll. (Dodd, 1982:97-98). Karena sifatnya yang cenderung disorientasi, “culture shock”, menghambat KAB yang efektif.

4.1 Tahap-Tahap “Culture Shock”
Tahap-tahap yang dilalui seseorang dalam mengalami proses transisi tersebut telah diteliti oleh beberapa ahli (Dodd, 1982:98) :
a.  “Harapan besar” (“eager expectation”) :
Dalam tahap ini, orang tersebut merencanakan untuk memasuki kebudayaan kedua atau kebudayaan baru. Rencana tersebut    dibuatnya dengan bersemangat, walaupun ada perasaan was-was dalam menyongsong kemungkinan yang bisa terjadi. Sekalipun demikian, ia dengan optimis menghadapi masa depan dan perencanaan dilanjutkan.
b.    “Semua begitu indah” ( everything is beautiful”) :
Dalam tahap ini segala sesuatu yang baru terasa menyenangkan. Walaupun mungkin beberapa gejala seperti tidak bisa tidur atau perasaan gelisah dialami,
tetapi rasa keingin – tahuan dan entusiasme dengan cepat dapat mengatasi
perasaan tersebut. Beberapa ahli menyebut tahap ini sebagai “bula madu”. Dari penelitian-penelitian diketahuui bahwa tahap ini biasanya berlangsung
beberapa minggu sampai enam bulan.
c.    “Semua tidak menyenangkan” (“everything is awful”)
Masa bulan madu   telah usai. Sekarang segala sesuatu telah   terasa tidak menyenangkan. Setelah    beberapa lama, ketidak-puasan, ketidak-sabaran,
kegelisahan  mulai terasa. Nampaknya semakin sulit untuk berkomunikasi dan
segalanya terasa asing. Untuk mengatasi ras ini ada beberapa cara yang ditempuh. Seperti dengan cara melawan yaitu dengan mengejek, memandang
rendah  dan  bertindak  secara  etnosentrik; kadang-kadang juga  melakukan kekerasan dengan merusah benda-benda secara fisik, sehingga dapat menimbulkan    kesulitan  hukum  bagi  dirinya  sendiri.  Tahap  selanjutnya
melarikan diri dan mengadakan penyaringan serta pelenturan. d.    “ Semua berjalan lancar” (everything is ok)




Ó2002 digitized by USU digital library                                                                 24
Setelah beberap bulan berselang, orang tersebut menemukan dirinya dalam keadaan dapat menilai hal yang positif dan negatif secara seimbang. Akhirnya ia telah mempelajari banyak tentang kebudayaan baru di luar kebudayaannya.

Dari pembahasan di atas, akulturasi tidak terjadi secara sama dalam kehidupan setiap orang. Demikian pula sebagian orang bermotivasi untuk berakulturasi, sebagian laginya tidak. Integrasi total berlangsung secara bertahap dan tergantung pada beberapa factor. Nampaknya juga untuk masa depan, pluralisme kebudayaan masih akan merupakan suatu kenyataan. Tantangan bagi setiap komunikator antar budaya ialah untuk memahami dinamika kontak kebudayaan, perinsip-perinsip akulturasi, culture shock dan menerapkannya pada hubungan-hubungan yang bermanfaat.

Ó2002 digitized by USU digital library                                                                 25
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam berkomunikasi lintas budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga lebih penting lagi adalah kesulitan untuk mengakui
perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran KAB. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan.
Melalui pengalaman-pengalaman lintas budaya , kita menjadi lebih terbuka
dan  toleran dalam  menghadapi keganjilan-keganjilan budaya. Bila  ini  ditunjang dengan studi formal tentang konsep budaya, kita tidak hanya memperoleh pandangan-pandangan baru untuk memperbaiki hubungan-hubungan kita dengan orang lain, namun kita pun menjadi sadar akan dampak budaya asli kita pada diri kita. Pemahaman budaya dapat mengurangi dampak gegar budaya (culture shock) dan meningkatkan pengalaman-pengalaman antar budaya.
Untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya lebih efektif, penulis berpendapat  bahwa  langkah  pertama  dalam  proses  ini  adalah  meningkatkan
kesadaran budaya seseorang secara umum. Orang harus memahami konsep budaya
dan ciri-cirinya sebelum ia memperoleh manfaat yang sebaik-baiknya. Disamping itu, dengan  memahami  bahasa  verbal  maupun  non  verbal  dari  pihak-pihak  yang
berkomunikasi akan memudahkan berlangsungnya proses komunikasi dan dalam
pencapaian makna di antara keduanya.

5.2. Saran
1.     Disarankan agar studi Komunikasi Lintas Budaya atau disebut juga Komunikasi
Antar  Budaya  perlu  diberikan  kepada  mahasiswa/i  tidak  hanya  yang bergabung
pada jurusan Ilmu komunikasi saja. Perlu juga kepada disiplin ilmu lainnya seperti ;  Antropologi, Sastra, Parawisata, Ekonomi dan fakultas lain –lainnya.
2.     Hendaknya pemahaman tentang penerapan Komunikasi Lintas Budaya ini tidak
hanya  di lingkungan Sivitas Akademika saja, namun perlu diperluas kepada masyarakat  untuk menghindari konplik-konplik SARA yang dapat mengancam ketenangan dan kenyamanan hidup bermasyarakat.


DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. 1999. Komunikasi dan Budaya. Jurnal.
Jakarta.
Lubis, Suwardi. 1999. Komunikasi Antar Budaya. Studi Kasus Etnik Batak Toba dan
Mulyana. Deddy dan Jalaluddin Rahmat. 1989. Komunikasi Antar Budaya. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Sunarwinadi.Ilya. Komunikasi Antar Budaya. Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu
Sosial. Universitas Indonesia. Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar